Perkembangan ilmu pengetahuan dan studi kebijakan publik maupun isu-isu yang berkaitan dengan kebijakan publik pada khususnya, telah mengalami dinamika dan perkembangan yang sangat pesat terlebih setelah memasuki era globalisasi. Demikian pula masalah, problem atau persoalan publik tidak saja menjadi semakin kompleks, tetapi juga menjadi rumit sejalan dengan meningkatnya berbagai masalah dan isu publik lintas batas nasional atau transnasional sebagai konsekuensi dari globalisasi. Dalam konteks meng-update pemahaman tentang kebijakan publik sejalan dengan menguatnya globalisasi neoliberalisme, buku kali ini menjadi suatu kebutuhan sangat penting sekali, dan oleh karenanya, menurut hemat penulis penyempurnaan kali ini lebih dikaitkan dengan penambahan beberapa bab studi kasus.
Dengan demikian Kebijakan Publik: Teori, Proses, dan Studi Kasus (Edisi dan Revisi Terbatu) tidak hanya memberikan kontribusi pemahaman tentang teori dan proses kebijakan publik kontemporer dalam era globalisasi, sehingga kalangan pembaca akan memeroleh pemahaman yang jauh lebih baik mengenai kebijakan publik dalam pengertian yang luas (dalam teori dan praktik). Budi Winarno, MA, PhD, lahir di Klaten 25 November 1947. Lulus sarjana (S1) dari Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIPOL pada tahun 1972. Selanjutnya, memperoleh gelar Master of Arts di bidang Ilmu Hubungan Internasional dari Korbel School of International Studies, University of Denver, Denver, Colorado, USA pada tahun 1977, atas biaya Fulbright Foundation, dan pada tahun 1985 atas biaya Rockefeller Foundation, menyelesaikan PhD di bidang Ilmu Politik di Department of Political Science, University of Missouri - Columbia, Columbia, Missouri, USA dengan disertasi: The Roles of Village Organizations in Rural Development: Analysis of the Indonesian Experience. Saat ini penulis tercatat sebagai Guru Besar aktif dalam Ilmu Politik dan Ilmu Hubungan Internasional, pada Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIPOL, dan Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Politik, Fisipol UGM, Yogyakarta. Selain itu penulis juga mengajar di berbagai Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta.
Namun, dalam pengantar ini, Saya akan memberi gambaran tentang hal-hal yang secara kurang disadari menjadi fundamen bagi tumbuh dan berkembangnya ilmu politik dalam tataran praktis. Fundamen yang Saya maksud adalah Konstitusi. Seperti dipahami bahwa konstitusi bagi sebuah negara merupakan aturan dasar bagaimana organ-organ negara dan sistem pemerintahan serta tata-laksana pemerintahan dan kekuasaan diposisikan. Hal ini bermakna bahwa bangunan kenegaraan yang dalam praktiknya akan dilakukan dalam sebuah proses dialektik politik hukum, sangat kental dengan karakteristik konstitusi yang dimiliki oleh sebuah negara. Empat tahapan, atau empat kali amandemen terhadap UUD 1945 yang terjadi di era Reformasi, sesungguhnya telah mengubah secara fundamental sistem ketatanegaraan kita.
Sebagai salah seorang yang terlibat aktif mendorong terjadinya amandemen sejak era Orde Baru, perubahan-perubahan yang terjadi dalam empat tahapan amandeman itu sungguh di luar dugaan. Usulan amandemen yang pertama kali saya gagas, sebenarnya hanya terfokus pada tiga hal, yakni: Pertama, amandemen terhadap pasal-pasal yang mengatur komposisi keanggotaan MPR, agar lembaga itu tidak sekedar menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan Presiden sebagai “mandataris”. Kedua, amandemen pasal yang mengatur masa jabatan Presiden, agar Presiden tidak memegang tanpa batas, sepanjang setiap lima tahun dipilih kembali, seperti terjadi pada masa Orde Baru. Ketiga, dimasukkannya pasal-pasal tentang hak asasi manusia, sehingga Pemerintah tidak dapat bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya sendiri.
Hukum gantung saddam hussein. Book of the month club logic puzzle games. Cystic fibrosis review pdf escape. Politik und wirtschaft nachrichten ntv.
Namun, sekali pintu amandemen dibuka, maka perubahan-perubahan besarpun terjadi. Download khusus games bola android nokia 3. Dengan perubahan-perubahan itu, saya tidak sepenuhnya yakin bahwa batang tubuh atau pasal-pasal UUD 1945 sekarang, mencerminkan pokok-pokok pikiran sebagaimana dirumuskan di dalam Pembukaan UUD 1945, yang antara lain memuat dasar falsafah negara Pancasila. MPR yang semula digambarkan Professor Soepomo sebagai “penjelmaan seluruh rakyat Indonesia” yang anggota-anggotanya terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, melaksanakan kedaulatan rakyat dan memilih Presiden dan Wakil Presiden, dan dipahami sebagai “lembaga tertinggi negara” kini telah mengalami pergeseran yang sangat fundamental. MPR sekarang tidak lagi menempati posisi itu.
Keanggotaannya, yang kini terdiri atas anggota-anggota DPR dan DPD tidak dapat lagi disebut sebagai “penjelmaan seluruh rakyat Indonesia”. Padahal, inilah esensi bernegara bangsa kita yang diangkat dari konsep masyarakat adat mengenai kekuasaan, dan mendapat pengaruh yang signifikan dari ajaran-ajaran Islam. Saya berpendapat asas “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” kini telah sirna dengan amandemen terhadap pasal-pasal UUD 1945, khususnya yang berkaitan dengan posisi dan kewenangan MPR. Demokrasi kita yang semula dirumuskan berdasarkan konsep masyarakat adat suku-suku bangsa kita sendiri, yang setelah mendapat pengaruh ajaran Islam, menekankan pada konsep musyawarah dan mufakat, kini telah berganti dengan demokrasi ala Eropah dan Amerika, baik dari segi filsafat maupun dari segi implementasinya di dalam struktur ketatanegaraan.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan studi kebijakan publik maupun isu-isu yang berkaitan dengan kebijakan publik pada khususnya, telah mengalami dinamika dan perkembangan yang sangat pesat terlebih setelah memasuki era globalisasi. Demikian pula masalah, problem atau persoalan publik tidak saja menjadi semakin kompleks, tetapi juga menjadi rumit sejalan dengan meningkatnya berbagai masalah dan isu publik lintas batas nasional atau transnasional sebagai konsekuensi dari globalisasi. Dalam konteks meng-update pemahaman tentang kebijakan publik sejalan dengan menguatnya globalisasi neoliberalisme, buku kali ini menjadi suatu kebutuhan sangat penting sekali, dan oleh karenanya, menurut hemat penulis penyempurnaan kali ini lebih dikaitkan dengan penambahan beberapa bab studi kasus.
Dengan demikian Kebijakan Publik: Teori, Proses, dan Studi Kasus (Edisi dan Revisi Terbatu) tidak hanya memberikan kontribusi pemahaman tentang teori dan proses kebijakan publik kontemporer dalam era globalisasi, sehingga kalangan pembaca akan memeroleh pemahaman yang jauh lebih baik mengenai kebijakan publik dalam pengertian yang luas (dalam teori dan praktik). Budi Winarno, MA, PhD, lahir di Klaten 25 November 1947. Lulus sarjana (S1) dari Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIPOL pada tahun 1972. Selanjutnya, memperoleh gelar Master of Arts di bidang Ilmu Hubungan Internasional dari Korbel School of International Studies, University of Denver, Denver, Colorado, USA pada tahun 1977, atas biaya Fulbright Foundation, dan pada tahun 1985 atas biaya Rockefeller Foundation, menyelesaikan PhD di bidang Ilmu Politik di Department of Political Science, University of Missouri - Columbia, Columbia, Missouri, USA dengan disertasi: The Roles of Village Organizations in Rural Development: Analysis of the Indonesian Experience. Saat ini penulis tercatat sebagai Guru Besar aktif dalam Ilmu Politik dan Ilmu Hubungan Internasional, pada Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIPOL, dan Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Politik, Fisipol UGM, Yogyakarta. Selain itu penulis juga mengajar di berbagai Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta.
Namun, dalam pengantar ini, Saya akan memberi gambaran tentang hal-hal yang secara kurang disadari menjadi fundamen bagi tumbuh dan berkembangnya ilmu politik dalam tataran praktis. Fundamen yang Saya maksud adalah Konstitusi. Seperti dipahami bahwa konstitusi bagi sebuah negara merupakan aturan dasar bagaimana organ-organ negara dan sistem pemerintahan serta tata-laksana pemerintahan dan kekuasaan diposisikan. Hal ini bermakna bahwa bangunan kenegaraan yang dalam praktiknya akan dilakukan dalam sebuah proses dialektik politik hukum, sangat kental dengan karakteristik konstitusi yang dimiliki oleh sebuah negara. Empat tahapan, atau empat kali amandemen terhadap UUD 1945 yang terjadi di era Reformasi, sesungguhnya telah mengubah secara fundamental sistem ketatanegaraan kita.
Sebagai salah seorang yang terlibat aktif mendorong terjadinya amandemen sejak era Orde Baru, perubahan-perubahan yang terjadi dalam empat tahapan amandeman itu sungguh di luar dugaan. Usulan amandemen yang pertama kali saya gagas, sebenarnya hanya terfokus pada tiga hal, yakni: Pertama, amandemen terhadap pasal-pasal yang mengatur komposisi keanggotaan MPR, agar lembaga itu tidak sekedar menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan Presiden sebagai “mandataris”. Kedua, amandemen pasal yang mengatur masa jabatan Presiden, agar Presiden tidak memegang tanpa batas, sepanjang setiap lima tahun dipilih kembali, seperti terjadi pada masa Orde Baru. Ketiga, dimasukkannya pasal-pasal tentang hak asasi manusia, sehingga Pemerintah tidak dapat bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya sendiri.
Hukum gantung saddam hussein. Book of the month club logic puzzle games. Cystic fibrosis review pdf escape. Politik und wirtschaft nachrichten ntv.
Namun, sekali pintu amandemen dibuka, maka perubahan-perubahan besarpun terjadi. Download khusus games bola android nokia 3. Dengan perubahan-perubahan itu, saya tidak sepenuhnya yakin bahwa batang tubuh atau pasal-pasal UUD 1945 sekarang, mencerminkan pokok-pokok pikiran sebagaimana dirumuskan di dalam Pembukaan UUD 1945, yang antara lain memuat dasar falsafah negara Pancasila. MPR yang semula digambarkan Professor Soepomo sebagai “penjelmaan seluruh rakyat Indonesia” yang anggota-anggotanya terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, melaksanakan kedaulatan rakyat dan memilih Presiden dan Wakil Presiden, dan dipahami sebagai “lembaga tertinggi negara” kini telah mengalami pergeseran yang sangat fundamental. MPR sekarang tidak lagi menempati posisi itu.
Keanggotaannya, yang kini terdiri atas anggota-anggota DPR dan DPD tidak dapat lagi disebut sebagai “penjelmaan seluruh rakyat Indonesia”. Padahal, inilah esensi bernegara bangsa kita yang diangkat dari konsep masyarakat adat mengenai kekuasaan, dan mendapat pengaruh yang signifikan dari ajaran-ajaran Islam. Saya berpendapat asas “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” kini telah sirna dengan amandemen terhadap pasal-pasal UUD 1945, khususnya yang berkaitan dengan posisi dan kewenangan MPR. Demokrasi kita yang semula dirumuskan berdasarkan konsep masyarakat adat suku-suku bangsa kita sendiri, yang setelah mendapat pengaruh ajaran Islam, menekankan pada konsep musyawarah dan mufakat, kini telah berganti dengan demokrasi ala Eropah dan Amerika, baik dari segi filsafat maupun dari segi implementasinya di dalam struktur ketatanegaraan.